ilustrasi batu bara/kompas |
Beropini.id - Pada tahun politik jelang pemilu, semakin banyak pihak yang mengangkat isu tentang negara kesejahteraan (welfare state). Melansir ensiklopedia Britannica, negara kesejahteraan adalah negara dengan konsep pemerintahan yang memegang peran penting dalam perlindungan serta mensejahterakan kehidupan sosial dan ekonomi warga negaranya.
Konsep negara kesejahteraan yang telah digagas oleh para pendiri bangsa telah termaktub dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara (melalui pemerintah) mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.
Mewujudkan negara kesejahteraan hanya utopia jika gagal mengelola sumber daya alam (SDA) yang diperkuat oleh postur sumber daya manusia (SDM) yang mampu menciptakan nilai tambah lokal sebesar-besarnya. Paradoks terjadi pada negara yang memilki SDA melimpah justru dikategorikan sebagai negara yang kesulitan mewujudkan kesejahteraan. Sebaliknya banyak negara yang kurang memiliki SDA tetapi bisa maju dan rakyatnya makmur.
Paradoks di atas karena negara hanya menjual bahan mentah dan kesulitan mewujudkan proses nilai tambah yang ideal. Kemampuan nilai tambah suatu bangsa tergantung penguasaan teknologi produksi. Almarhum Presiden ke-3 RI BJ Habibie telah merumuskan konsep nilai tambah industri untuk negara berkembang. Sayangnya konsep nilai tambah BJH terlupakan begitu saja akibat pergantian kekuasaan.
Mengutip pakar ekonomi dunia Haller dan Stolowy, bahwa nilai tambah adalah pengukuran performa entitas ekonomi. Arti nilai tambah adalah perbedaan antara nilai dari output suatu perusahaan atau suatu industri, yaitu total pendapatan yang diterima dari penjualan output tersebut, dan biaya masukan dari bahan-bahan mentah, komponen-komponen atau jasa-jasa yang dibeli untuk memproduksi komponen tersebut.
Nilai tambah diketahui dengan melihat selisih antara nilai output dengan nilai input suatu industri. Nilai tambah merupakan konsep utama pengukuran pendapatan suatu negara. Konsep itu secara tradisional berakar pada ilmu ekonomi makro, terutama yang berhubungan dengan penghitungan pendapatan nasional yang diukur dengan performa produktif dari ekonomi nasional yang biasanya dinamakan produk domestik.
Perlu konsolidasi industri nasional, baik BUMN maupun swasta, untuk mendongkrak nilai tambah produknya. SDM teknologi nasional sudah cukup jumlahnya untuk bergotong royong dan memeras pikiran guna merumuskan proses nilai tambah produk nasional seacra detail. Sehingga tidak ada lagi bahan baku dan setengah jadi yang dijual begitu saja ke luar negeri dengan nilai tambah yang kecil.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Di APBN 2023, PNBP SDA ditarget sebesar Rp 188,7 trilliun dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2022 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Ironisnya di dalam Peraturan Presiden Nomor 130 tahun 2022 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023, target penerimaan negara atas Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar Rp 232,58 trilliun, lebih besar dari pada PNBP SDA di APBN 2023. Ini merupakan salah satu indikator bahwa indeks nilai tambah produk dan komoditas di negeri ini masih rendah.
Mestinya demi melaksanakan amanat Pasal 33 Ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 seyogyanya PNBP SDA dapat lebih ditingkatkan dan menggunakan penerimaan negara atas CHT sebagai benchmark, dengan memperhatikan kembali aturan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022.
Sekiranya PNBP SDA sebesar dua atau tiga kali dari penerimaan negara atas CHT, tentunya SDA yang dimiliki Indonesia akan memberi manfaat lebih bagi rakyat.
Program hilirisasi SDA yang merupakan amanat Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 (perubahan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) mulai memberikan hasil dengan meningkatnya nilai tambah di dalam negeri dan peningkatan nilai ekspor Indonesia dalam 1-2 tahun terakhir.
Sedangkan dari sumber daya maritim, menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, nilai ekspor perikanan Indondesia mencapai USD 6,22 miliar, naik 8,84% dibanding tahun sebelum. Nilai tersebut diperkirakan sekitar 2 % dari nilai total ekspor kita di tahun 2022 yang diperkirakan sebesar USD 300an miliar.
Selama ini kontraktor nasional dan asing melakukan pengerukan SDA Indonesia secara besar-besaran tanpa menimbulkan proses nilai tambah yang signifikan. Karena hanya dilakukan sebatas mengekspor bahan mentah namun minim proses pengolahan.
Kepemimpinan bangsa ke depan yang akan dihasilkan lewat Pemilu 2024 harus memiliki solusi untuk mengatasi fenomena natural resource curse, yakni munculnya paradoks yang dihadapi suatu negara yang memiliki SDA melimpah. Ironisnya, dari segi tingkat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas pembangunan, negara tersebut justru cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yang justru tidak memiliki SDA.
Salah satu teori ekonomi yang menunjukkan fenomena natural resource curse adalah teori Dutch Disease. Ini merupakan teori yang menunjukkan hubungan antara peningkatan eksploitasi SDA dengan penurunan daya saing sektor industri. Kegiatan eksploitasi dan ekspor SDA besar-besaran (booming sector) di suatu negara akan mendorong apresiasi nilai tukar mata uang negara tersebut.
Apresiasi nilai tukar itu berdampak pada menurunnya daya saing ekspor barang yang dihasilkan sektor produksi lain, selain sektor ekstraktif SDA, dalam hal ini sektor industri atau manufaktur negara tersebut. Dibutuhkan sistem neraca SDA spasial yang canggih, yakni platform digital untuk menghitung ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam satu entitas geografis tertentu untuk mengetahui kondisi yang terkini. Sistem tersebut sangat berguna untuk penyusunan kebijakan pembangunan lintas sektoral.
Sistem neraca SDA spasial merupakan pendekatan yang bersifat analisis kualitatif dan kuantitatif tentang potensi SDA. Sistem tersebut sebaiknya bersifat spasial dan mudah diakses publik. Sehingga terjadi transparansi publik terkait dengan usaha pertambangan dan lainnya.
Selain itu, perlu dibuat peta kondisi fisik sumber daya terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar usaha pertambangan. Perekaman kondisi SDA dan nilai ekonomi dalam bentuk peta digital bisa memecahkan persoalan secara kredibel dan independen. Juga sangat berguna untuk audit lingkungan dan bisa dijadikan referensi jika terjadi sengketa bagi hasil lintas daerah atau sengketa dengan masyarakat sekitar.
Setelah memiliki platform neraca SDA yang canggih, keniscayaan bagi Indonesia untuk totalitas mengembangkan industri pengolahan berbasis SDA. Sedih melihat kondisi produksi industri pengolahan besar dan sedang di tanah air saat ini mengalami pertumbuhan kecil hingga ada yang negatif. Padahal sektor industri pengolahan merupakan salah satu di antara sektor-sektor ekonomi yang menjadi andalan dalam perekonomian Indonesia dan mudah menyerap lapangan kerja secara massal.
Rinaldi Malimin
CNBC